Surabaya, Nusantaradigital.online — Auditorium Kampus C Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) pada Jumat (16/5/2025) mendadak menjadi ruang kontemplasi. Bukan karena ada ujian atau kuliah tamu ekonomi, melainkan karena puluhan mahasiswa Manajemen berkumpul untuk menggali lebih dalam tentang satu topik yang sangat dekat dengan mereka: bagaimana algoritma media sosial diam-diam memengaruhi kehidupan sehari-hari.

Buku “Budak Algoritma: Mengapa Kita Tak Bisa Berhenti Scroll?” karya Mohamad Yusak Anshori menjadi sorotan utama dalam acara bedah buku yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Manajemen (HIMA) Unusa. Acara ini menghadirkan langsung sang penulis, Yusak, yang juga merupakan dosen Manajemen di kampus tersebut sekaligus pengamat budaya digital.
Dengan bahasa lugas dan sesekali diselingi humor, Yusak mengajak audiens menyelami logika di balik layar ponsel mereka: bagaimana sistem algoritma, dopamine loop, dan fitur seperti infinite scroll diciptakan untuk membuat pengguna terus terpaku.
“Saat kita merasa senang melihat konten lucu atau notifikasi, itu dopamin bekerja. Kita jadi ketagihan, bahkan tanpa sadar,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa kebiasaan ini tak sekadar menyita waktu, tapi juga mengganggu kemampuan otak dalam berpikir jernih, memutuskan sesuatu dengan bijak, dan menyelesaikan persoalan.
“Bahkan TikTok Brain—istilah yang saya gunakan dalam buku ini—menjelaskan bagaimana rentang atensi kita jadi sangat pendek karena terbiasa dengan video berdurasi singkat.”
Namun, Yusak tidak sekadar menyampaikan kritik. Ia juga menawarkan solusi. Mengurangi waktu di media sosial, mengembalikan kebiasaan berdiskusi langsung, berolahraga, dan menyaring informasi secara sadar jadi langkah awal melawan dominasi algoritma.
“Buku ini saya tulis untuk menyentil, bukan menghakimi. Generasi Z perlu belajar memilih: kapan harus terus menggulir layar, dan kapan saatnya berhenti.”
Ketua HIMA Manajemen, Ananda Putra Pratama, menjelaskan bahwa tema ini dipilih karena sangat relevan dengan kehidupan mahasiswa hari ini. “Kami ingin menyadarkan teman-teman bahwa interaksi digital harus dikendalikan, bukan malah mengendalikan kita. Ini bagian dari literasi digital,” ujarnya.
Diskusi yang berlangsung lebih dari dua jam itu tak hanya membuka wawasan, tapi juga membuka ruang refleksi bersama. Beberapa mahasiswa bahkan terlihat mencatat dan bertanya dengan kritis soal solusi praktis menghadapi kecanduan media sosial.
Melalui kegiatan ini, HIMA Manajemen Unusa ingin menghidupkan kembali budaya membaca, berpikir, dan berdialog secara mendalam—sebuah hal yang perlahan terpinggirkan oleh kecepatan dunia digital.
Dengan semangat literasi dan kesadaran diri, mahasiswa Unusa mulai menapaki jalan untuk tidak hanya menjadi generasi yang melek teknologi, tapi juga melek diri sendiri dalam menghadapi era algoritma. (why)