Oleh: Budi Raharjo
(Progam Doktoral PSDM, Universitas Airlangga)
Dalam beberapa tahun terakhir, cara kita bekerja berubah drastis. Pandemi COVID-19 mempercepat trend global yang sebelumnya sudah mulai muncul, bekerja tidak harus dari kantor. Teknologi memudahkan orang untuk terhubung dari mana saja. Banyak sektor swasta sudah sejak lama menerapkan pola kerja fleksibel, dan terbukti tetap produktif, bahkan kadang lebih efisien. Tapi bagaimana dengan sektor publik, terutama birokrasi pemerintahan?

Disinilah isu Flexible Working Arrangement (FWA) jadi sangat relevan. Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, FWA bukan lagi sekadar wacana. Ini adalah kebutuhan. Fenomena ini tidak hanya melanda sektor swasta, tetapi juga menuntut reformasi signifikan dalam sektor publik, termasuk birokrasi pemerintahan yang selama ini dikenal rigid, hierarkis, dan prosedural.
Pemerintah, sebagai institusi publik utama, dituntut untuk segera mengadopsi model kerja baru yang lebih dinamis agar tetap relevan, responsif, dan efisien ditengah tuntutan masyarakat yang semakin kompleks dan serba cepat. Tentunya semangat dari penerapan FWA di instansi pemerintah harus dalam koridor mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien serta mewujudkan birokrasi yang dinamis, lincah,dan profesional. Namun demikian, perubahan struktural ini tidaklah sederhana. Diantaranya menuntut kesiapan organisasi baik dari sisi teknologi, sistem kerja, maupun budaya organisasi (Eisenhardt & Graebner, 2007).
Kenapa ASN Butuh FWA?
Pertama, kita perlu melihat siapa yang mengisi birokrasi saat ini—dan ke depan. Generasi milenial dan Gen Z sudah mulai mendominasi jumlah ASN. Karakter mereka berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka tumbuh di era digital, terbiasa multitasking, dan sangat peduli dengan keseimbangan antara hidup dan kerja (work-life balance). Kalau sistem kerja birokrasi tetap kaku, terlalu prosedural, dan hanya menilai dari kehadiran fisik, cepat atau lambat mereka akan kehilangan semangat.
Kedua, tantangan birokrasi sekarang jauh lebih kompleks. Masyarakat menuntut pelayanan yang cepat, transparan, dan efisien. Hal itu tidak bisa dicapai hanya dengan menambah jam kerja atau memperketat absensi. Justru, birokrasi butuh pendekatan baru yang lebih lincah—dan itu bisa dimulai dari cara kerja yang fleksibel.
Mungkin banyak orang mengira FWA seperti konsep Work from Home (WFH). Padahal, konsep ini jauh lebih luas. FWA mencakup fleksibilitas waktu (jam kerja yang bisa diatur sendiri), tempat (kerja dari mana saja), dan cara kerja (misalnya kerja berbasis proyek, bukan jam kerja). Tujuannya tetap sama: hasil kerja yang optimal. Tapi jalannya bisa lebih fleksibel, disesuaikan dengan karakter masing-masing pegawai dan kebutuhan organisasi.
Pendeknya, pada lingkungan pemerintah ke depan dinamika ini akan semakin kompleks karena adanya tekanan regenerasi birokrasi. Mayoritas ASN akan berasal dari generasi milenial dan Gen Z, kelompok yang dikenal memiliki preferensi tinggi terhadap fleksibilitas kerja, kolaborasi, dan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi. Jika terjadi ketidaksesuaian antara ekspektasi generasi ini dengan pola kerja birokratis tradisional berpotensi memunculkan konflik nilai dan penurunan keterikatan terhadap organisasi (Sukoco et al., 2021).
Identitas Organisasi yang Sedang Berubah
Disinilah pentingnya melihat FWA bukan sekadar sebagai kebijakan administratif, tetapi sebagai bagian dari transformasi budaya organisasi. Ketika sistem kerja berubah, identitas organisasi pun ikut bertransformasi. ASN yang selama ini terbiasa dengan rutinitas dan kontrol, kini harus belajar menjadi lebih mandiri, kolaboratif, dan adaptif.
Dalam proses ini, organisasi birokrasi sedang membentuk apa yang disebut “transitional identity”—identitas sementara yang muncul saat perubahan besar terjadi. Kalau tidak dikelola dengan baik, perubahan ini bisa menimbulkan kebingungan, konflik nilai, dan bahkan demotivasi.
Meski terdengar ideal, penerapan FWA di sektor publik tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah budaya kerja yang selama ini cenderung konservatif dan hierarkis. Ada ketidakpercayaan, akan menjadikan ASN malas dan tidak produktif, ada rasa takut kehilangan kontrol atas perilaku dan tidak dapat menilai proses bekerja jika pegawai tidak “terlihat” bekerja di kantor.
Perubahan ini juga menyentuh sisi psikologis. Banyak pegawai yang ragu atau bahkan resisten terhadap FWA. Mereka belum yakin apakah sistem ini adil, apakah mereka bisa mengatur waktu sendiri, dan apakah pimpinan akan menilai mereka secara obyektif. Studi Nadia (2020) mencatat bahwa transformasi menuju sistem kerja fleksibel dapat menimbulkan ketidaknyamanan emosional dan resistensi. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan FWA tidak hanya bergantung pada regulasi atau teknologi, tetapi juga pada aspek psikososial dan pendekatan manajerial yang humanistik.
Untuk itu, komunikasi terbuka dan kepemimpinan yang suportif sangat dibutuhkan. Pegawai harus dilibatkan dalam proses perubahan, bukan hanya menjadi obyek organisasi.
Studi Lapangan Awal
Penelitian awal terdahulu yang telah dilakukan di ASN Prov. Jatim oleh Dr.IG.NG.Indra S Ranuh,SH,CN,MSi, (Analis Kebijakan Ahli Utama Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur) tahun 2024, menunjukkan banyak ASN, terutama generasi muda, menyambut baik FWA. Mereka merasa lebih leluasa mengatur waktu, lebih fokus bekerja tanpa gangguan kantor, dan lebih punya waktu untuk keluarga.
Namun, banyak juga catatan penting seperti merasa belum dijalankan secara merata dan beban kerja justru makin tinggi karena ekspektasi hasil tidak dibarengi pelatihan atau dukungan teknologi. Ada juga yang merasa bingung karena belum ada sistem penilaian kerja yang jelas berbasis output.
Secara logika penerapan FWA mampu meningkatkan produktivitas juga efisiensi anggaran yang signifikan. Namun masih dibutuhkan persiapan yang matang, dan sistem evaluasi berbasis hasil kerja, bukannya sistem kehadiran. Dan yang terpenting ada supporting pimpinan di semua lini.
Tabel Gambar Grafis Wawancara, Manfaat dan Kebutuhan Persiapan Penerapan FWA.
Koding Awal |
Kategori |
Tema Utama |
Target kerja, evaluasi |
Manajemen Kinerja |
Kesiapan Implementasi |
Tupoksi, kerahasiaan |
Proses bisnis |
Fasilitasi FWA |
Efektivitas, tim kerja |
Budaya kerja |
Kesiapan implementasi |
Jaringan, WFH tools |
Sarana dan prasarana |
Dukungan teknis implementasi |
Informasi, manfaat |
Sosialisasi |
Kesiapan implementasi |
Efisiensi, motivasi |
Dampak positif FWA |
Dukungan teknis implementasi |
Biaya, kebiasaan lama |
Tantangan implementasi |
Dukungan teknis implementasi |
Agar persiapan dan implementasi FWA menghadapi persepsi kerja ‘malas” dan tidak dapat dikontrol kehadiran, perilaku, proses kerja dan hasilnya tidak dapat diukur, belum lagi hambatan psikologis ketakutan kehilangan kenyamanan dan tergeser derasnya teknologi, maka perlu :
- Komunikasikan melalui media dasboard realtime
- Tambahkan laporan harian/mingguan berbasis capaian (output base) yang mudah dipantau
- Tendemkan staf muda dan senior sebagai mentoring dan transfer teknologi
- Terapkan sistem Key Performance Indikatro (KPI) yang disetujui bersama
Penutup
Saatnya birokrasi tidak boleh ketinggalan jaman. Jika dunia sudah berubah, maka cara kerja kita pun harus ikut berubah. FWA bukan trend sesaat. Ia adalah masa depan kerja yang lebih fleksibel, lebih bermakna, dan lebih produktif.